Jika kita berbicara dengan resolusi tahun baru, belakangan ini banyak sekali meme yang menyampaikan lelucon, lebih kurang intinya seperti ini: “Resolusi 2016: Menyelesaikan resolusi 2015 yang belum terselesaikan dimana resolusi 2015 sendiri adalah hasil dari resolusi 2014 yang tidak tercapai.”
Nah loh, mungkin ada benarnya juga bahwa resolusi setiap tahunnya muncul dari jelmaan resolusi 2015 bahkan 2014 dan tahun-tahun sebelumnya yang belum juga terealisasi. Pertanyaannya, serealistis apa kamu menyusun resolusi tahun baru? Karena saya sendiri percaya bahwa setiap hidup butuh perencanaan, tergantung bagaimana kita bisa menggapainya.
Sekarang coba kita bersama-sama, iseng-iseng menganalisa kemampuan diri sebelum menyusun Resolusi 2016 (ya, mungkin saat kamu baca postingan ini sudah keburu 2016, tidak masalah, yang penting dibaca). Percayalah, poin-poin dibawah ini juga hasil dari urhat colongan saya, ya 🙂
Realistis dengan Keadaan Fisik
Biasanya banyak yang menuliskan resolusi tahunan (bahkan bulanan mereka) adalah menaikkan/menurunkan berat badan. Wah, saya juga nih. List ini masuk setiap bulannya, bahkan. Tetapi jika saya diberi kesempatan untuk recall dan melihat sendiri siang ini di kaca (bentar, ambil kaca dulu), saya harus menerima bahwa ukuran fisik saya memang kurus!
Loh, menyerah? Bukan! Saya tidak menyerah. Tetapi saya ingin mengganti resolusi saya ini dengan lebih rasional yaitu saya tidak ingin memaksanakan berat badan harus naik, tetapi saya komitmen untuk menjaga kesehatan saya.
Hal ini bercermin dari perawakan saya yang dari jaman TK sudah kurus. Tetapi di tahun 2015, saat dirawat di rumah sakit saya menyadari bahwa kesehatan itu sangat mahal. Mahal dari segi materi? Tentu, silakan hitung sendiri berapa biaya transportasi ke Rumah Sakit, administrasi Rumah Sakit, periksa dokter umum/spesialis, obat, dan tindakan medis lainnya seperti biaya laboratorium, biaya rawat inap, dll. Tetapi yang paling ingin saya tekankan bukan saja betapa mahalnya biaya rumah sakit, tetapi betapa kita akan kehilangan hari-hari yang produktif jika badan kita sakit.
Misalkan, saya dari jaman purba ingin sekali menaikkan berat badan. Tetapi saat badan sakit justru berat badan saya turun, tidak nafsu makan, dan mengeluarkan banyak biaya untuk ke Rumah Sakit. Belum lagi merepotkan orang-orang disekitar.
Jadi bagi kamu yang ingin menuliskan resolusi untuk menaikkan atau menurunkan berat badan, coba diganti dengan komitmen menjaga kesehatan. Banyak caranya: dari menjaga pola makan, olah raga, asupan nutrisi yang cukup (apalagi anak kost). Dengan demikian, menciptakan tubuh yang diidamkan didasari dengan tahapan yang sehat.
Realistis dengan Keadaan Mental
Jangan hanya keadaan fisik yang harus disejahterakan, kamu juga harus mensejahterakan mental kamu. Misalnya, mungkin beberapa diantara kamu menuliskan resolusi sederhana seperti tahun ini harus lebih dewasa dan lebih bijaksana dari tahun sebelumnya.
Menjadi lebih dewasa dan bijaksana mungkin cukupsulit untuk diukur keberhasilannya (coba apa satuannya). Namun demikian contoh ini dapat terealisasi (meskipun tolak ukurnya tidak ada) adalah bagaimana kita bisa menyiapkan mental kita bisa menjadi lebih baik.
Menjadi lebih dewasa artinya menyiapkan mental kita untuk menerima kritikan dan masukan dari orang lain. Menjadikan hal tersebut sebagai cambuk untuk memperbaiki diri, bukan malah jadi cemen karena dikritik.
Menjadi lebih bijaksana adalah bagaimana kita bisa mengambil keputusan, melakukan sesuatu, mengucapkan sesuatu yang baik untuk diri kita dan orang disekitar. Kita menyiapkan mental untuk melupakan ego. Tantangannya lebih tidak jelas memang cara mengukurnya, namun dengan sehat mental akan menjadi balance yang baik untuk meraih mimpi.
Realistis dengan Keadaan Materi
Saya sangat yakin resolusi yang sangat sering dibuat adalah: ingin jalan-jalan keluar negeri/keliling Indonesia, ingin ganti HP baru, mengoleksi fashion branded, dll.
Pertanyaannya, sekuat apa Materi kamu bisa mewujudkannya?
Mungkin teman-teman yang membaca postingan ini masih dengan status mahasiswa atau pelajar, jadi mungkin saja kamu masih di support oleh orang tua kamu. Atau mungkin study kamu didukung dengan beasiswa yang mungkin tidak cuma 1, tidak pula 2, mungkin.
Sering kali, pelajar atau mahasiswa jika tidak belajar menahan diri, tidak belajar untuk menabung (apalagi jika tidak disupport oleh orang tua), akan ‘mati gaya’ kehabisan uang saat akan lulus. Mengapa? Uang yang ada dihabiskan untuk keperluan yang tidak mendesak, masih bisa untuk diatur ulang.
Lalu bagaimana jika seseorang yang sudah kerja? tentunya sudah menjadi kebanggaan sudah bisa menghasilkan uang sendiri. OK, bagi yang berpenghasilan tinggi tentu sangat mudah memuaskan hasrat mereka dengan liburan dan memenuhi kebutuhan mewah lainnya. Namun bagi kebanyak Gen Y, masih banyak yang tidak berfikir jangka panjang. Misal, sudah bekerja satu-dua tahun namun ternyata tidak mempunyai tabungan. Loh, mau nunggu sampai kapan mempunyai tabungan?
Jadi belajarlah untuk realistis dengan materi pribadi. Jangan sampai kelelep oleh tuntutan sosial yang justru menguras tabungan kamu.
Tentunya masih banyak poin dan opini lain yang bisa teman-teman temukan untuk menentukan resolusi. Resolusi tidak hanya ditulis, tetapi menjadi target kita setahun ini. Jadi, bagaimana dengan Resolusi kamu di 2016 ini? Sudah realistiskah?