Masih ingat dong dengan postingan Part 1 tentang sahabat saya Mochamad Aldis Ruslialdi?? Nah, tentunya nggak lengkap tugas akhir ini kalau tidak diberikan analisis berdasarkan teori-teori psikologi pendidikan. Berikut ini adalah part-2 yang merupakan analisis untuk sang sahabat.
Analisis
Setelah melakukan wawancara dengan partisipan, saya melihat partisipan telah melakukan dan mempunyai proses metakognisi yang baik. Metakognisi sendiri merupakan kemampuan seseorang dalam memantau, mengevaluasi, dan membuat rencana pembelajaran untuk dirinya (Tobias & Everson, 2000 dalam Hacker, Dunlosky, & Graesser, 2009). Penulis melihat partisipan memiliki self efficacy yang baik sehingga dia mampu mengoptimalkan potensi, mengevaluasi pekerjaan yang telah dia lakukan seperti tugas kuliah sehingga dapat memperoleh nilai yang baik, mengevaluasi diri saat mengalami suatu kesalahan sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama nantinya dan dapat memberikan performa yang lebih baik nantinya. Partisipan juga mampu membuat perencanaan yang baik, seperti mengoptimalkan passion-nya dalam bidang penelitian dan juga dalam isu seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja dengan memanfaatkan waktu kosong sehingga banyak space untuk pengoptimalan performa sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan target.
Ada dua cara dalam mengukur metakognisi seseorang yaitu dengan melakukan observasi dalam mengerjakan tugas-tugas kognitif yang kompleks, dan melalui pendekatan self-report. Penulis tidak melakukan observasi terhadap partisipan dalam melakukan tugas-tugas kognitif yang kompleks secara langsung, namun dengan melakukan pendekatan self-report melalui adanya data akurat seperti Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang cumlaude serta pencapaian yang berhasil diperoleh oleh partisipan seperti menjadi pembicara dalam international conference, The Most Favorite Leader dalam acara Nutrifood Future Leader 2012, dan Mahasiswa Berprestasi II FKM UI 2013 menunjukkan partisipan memiliki tingkat kesuksesan yang baik dalam metakognisinya. Dia memahami kemampuan yang dia miliki, mengevaluasi kesalahan yang pernah dia lakukan agar tidak terulang lagi nantinya serta menggunakan kesalahan tersebut sebagai pelajaran untuk bisa lebih baik kedepannya, serta memiliki perencanaan pembelajaran yang baik yang terbukti dengan time management yang berhasil karena adanya self-control yang tinggi melawan rasa malas dalam diri partisipan sehingga perencanaan pembelajaran tidak hanya sekedar perencanaan namun mampu menjadi panduan dalam meraih achievement. Hal ini sesuai dengan devinisi evaluasi menurut Blumenfeld (1992) bahwa evaluasi menekankan kemampuan dengan menekankan jawaban yang benar, nilai, dan perbandingan sosial mempromosikan orientasi performa.
Dalam teori pemrosesan informasi, metakognisi dipandang sebagai salah satu substansi sistem pemrosesan informasi (Dahar, 1989). Metakognisi adalah aspek kognitif yang berperan mengendalikan semua aspek kognitif lainnya. Menurut Lawson (1980), informasi yang ditangkap individu dari interaksinya dengan lingkungannya ditransformasikan melalui proses-proses kognitif tertentu. Sebagai contoh, kesuksesan partisipan dalam bidang public relation dengan memanfaatkan aktivitas tersebut untuk memperluas koneksi sehingga mendapatkan kesempatan untuk mengsponsori beberapa kegiatan Rumah Panda baik tingkat UI maupun tingkat nasional. Partisipan juga lebih selektif lagi dengan melihat peluang yang dapat dimaksimalkan. Dengan demikian terlihat adanya proses penyeleksian informasi yang baik. Proses-proses ini bekerja menurut strategi kognitif yang dipilih individu yang bersangkutan sesuai dengan tugas yang diterimanya. Penentuan untuk menggunakan sebuah strategi, memantau strategi yang terdahulu, atau menggantikannya dengan strategi lain berdasarkan pantauan inilah yang disebut metakognisi, karena proses-proses dan strategi-strategi kognitif merupakan prasyarat logis dari metakognisi.
Selain itu, dalam suatu pembelajaran, motivasi menggerakan seseorang untuk memulai, mengarahkan, dan mempertahankan aktivitas belajar tersebut. Di sisi lain, motivasi mampu memengaruhi pembelajaran jika melibatkan metakognisi (Hayes & Flower, 1980). Pada kasus ini, partisipan mengetahui bahwa dirinya menguasai penelitian dan penulisan ilmiah serta isu seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja dan tidak terlalu menguasai isu human rights, motivasinya akan lebih tinggi jika dia mengerjakan tugas penelitian dan penulisan ilmiah dengan isu seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja jika dibandingkan dengan isu human rights. Orang dengan metacognitive monitoring yang baik akan mampu menggunakan strategi yang lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan suatu masalah sehingga motivasi berprestasinya bisa lebih terjaga. Hal ini terlihat dengan karya ilmiahnya yang diterima dan dipresentasikan dalam beberapa international conference.
Penulis juga melihat bahwa partisipan memiliki potensi yang sangat baik dalam menulis. Hayes dan Flower (1980) merumuskan tiga komponen yang termasuk ke dalam model proses penulisan. Tiga komponen tersebut yaitu, tugas lingkungan, proses kognitif, dan memori jangka panjang yang dimiliki penulis. Tugas lingkungan yaitu termasuk faktor eksternal yang ada diluar penulis, namun turut mempengaruhi penulisan. Misalnya atribut dari penulisan tugas yang dilakukan oleh partisipan karena ingin mengikuti konferensi internasional sehingga hal tersebut sangat memotivasinya. Sementara proses kognitif yaitu operasi mental yang terjadi ketika proses penulisan terjadi.
Pada proses kognitif partisipan terlihat melakukan merencanakan, menerjemahkan, dan meninjau kembali tulisan yang dibuat sehingga dapat melahirkan tulisan yang berkualitas. Proses kognitif juga melibatkan suatu tujuan, maksudnya, bagaiman partisipan membuat tujuan dan membaginya menjadi tahap-tahap untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menciptakan karya tulis partisipan sangat terstruktur dan tidak heran jika dia bisa menjadi penyaji makalah termuda pada International Urban Mobility Conference 2013. Terakhir adalah memori jangka panjang yang dimiliki oleh partisipan dalam menulis, yaitu pengetahuan. Hal ini akan mempengaruhi partisipan dalam memilih topik, jenis tulisan, dan perencanaana lain yang bersifat lebih umum. Pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya berhasil membuat partisipan master dalam isu tersebut.
Penulis juga melihat bahwa partisipan sangat menyenangi challange. Dengan adanya tugas-tugas yang menantang tidak hanya berkontribusi terhadap orientasi penguasaan partisipan terhadap topik atau isu yang sedang dibahas tetapi juga mempengaruhi penilaiannya tentang apa yang merupakan upaya yang wajar dan tantangan yang sesuai. Selain itu, adanya penekanan tentang pentingnya mengisi waktu kosong dengan menyicil tugas sebagai progres kemajuan tugas-tugas telah dijadikan oleh partisipan untuk menciptakan keinginan yang lebih besar bagi partisipan sendiri untuk terlibat secara kognitif. Hal ini terlihat dengan adanya keinginan lebih untuk mengekplorasi kemampuan partisipan sendiri. Tidak hanya menyenangi dan aktif menulis ilmiah, tetapi partisipan semakin mengoptimalkan kemampuannya sehingga memperoleh pengakuan dari berbagai pihak. Hal ini terlihat dengan semakin menguasai dan ahli pada hal yang di-passion-kan oleh partisipan, dia berhasil dipercaya sebagai assistant researcher di Health Research Center on Crisis and Disaster (HRCCD) serta mendapatkan tawaran untuk membantu pembuatan proposal disertasi. Hal ini menunjukkan bahwa partisipan memahami kunci dari dimensi task yaitu meaningfulness dan value (Wigfield & Eccles, dalam Blumenfeld, 1992).
Tidak hanya sebagai challenge, namun kesenangan dan kefokusan partisipan dalam penulisan ilmiah dan juga isu seksualitas dan kesehatan reproduksi remaja, partisipan sangat terlihat sebagai individu yang mastery orientation karena mampu meningkatkan performa dan meningkatkan kemampuan decision making (Blumenfeld, 1992). Dalam hal ini, selain performa partisipan yang jauh meningkat yang dari awalnya hanya untuk mengikuti perlombaan hingga dipercaya menjadi assistant researcher di Health Research Center on Crisis and Disaster (HRCCD) dan mendapatkan tawaran untuk membantu pembuatan proposal disertasi, tentunya mastery orientation membuat partisipan dapat mengukur sendiri kapasitas dirinya. Dengan adanya mastery orientation partisipan belajar untuk mengambil keputusan yang terbaik dari dirinya dengan mempertimbangkan bagaimana kemampuan dirinya jika mengelola penelitian yang lebih besar, konsekuensi apa yang akan dia peroleh jika mengambil dua kesempatan ini seperti akan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berkumpul bersama teman-temannya baik dalam organisasi maupun di luar organisasi karena keduanya sangat menuntut profesionalitas dan bekerja under pleasure yang dibarengi dengan deadline penyelesaian, dan tentunya kekurangan waktu untuk belajar seperti biasanya. Namun demikian, mastery orientation membuat partisipan dapat mengukur kapasitas dan kapabilitas dirinya sehingga melahirkan sebuah keputusan yang bijaksana menurutnya. Tentunya Health Research Center on Crisis and Disaster (HRCCD) tersebut nantinya juga memberikan dukungan dan kesempatan untuk mengembangkan self-regulatory dan keterampilan belajar sehingga partisipan dapat memperoleh manfaat dari pelaksanaan pilihan exercise dan control yang dia ambil. Partisipan sendiri sangat menekankan pentingnya berorientasi pada proses pembelajaran karena dengan berorientasi pada proses banyak hal yang bisa menambah wawasan dan pemahaman terhadap apa yang dilakukan, dengan menghargai proses tentunya mastery orientation seseorang dapat lebih baik.
Selain pengembangan diri sendiri, proses kesuksesan seseorang juga didukung bagaimana lingkungan eksternal membantu partisipan untuk mengembangkan diri, memaksimalkan potensi, dan membuat keputusan. Orang dewasa, seperti guru/dosen dan orang tua serta peer merupakan daerah penting lainnya setelah kelas dan sekolah/kampus yang mempengaruhi goal orientations, terutama pengaruh tujuan sosial terhadap prestasi (Blumenfeld, 1992). Pada kasus Aldis, partisipan mendapatkan dukungan dan kepercayaan oleh dosen sehingga dia terpacu untuk lebih keras untuk menyenangi dan membuktikan kepada dosen yang bersangkutan bahwa dia bisa memberikan kontribusi nyata yang lebih baik dan secara profesional, sehingga dalam proses pelaksanaannya sendiri partisipan menyenangi penelitian dan menciptakan hal-hal menarik dalam proses belajar seperti membaca material yang lebih berat di perpustakaan dan kesempatan konsultasi lebih banyak dengan dosen atau profesor yang ahli dibidangnya.
Demikian juga dengan orang tua, partisipan sebagai anak pertama dan menilai akan memperikan effort lebih untuk pendidikan karena adanya support atau pola asuh yang sangat mementingkan pendidikan dan achievement dalam keluarga, serta menurut pengetahuan dia, dia merupakan anggota keluarga besar pertama yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia sehingga menjadi tolak ukur bagi keluarga besarnya untuk role model.
Selain itu, Blumenfeld (1992) mengatakan bahwa peer sering digambarkan oleh siswa sebagai pesaing dan sebagai sumber informasi komparatif tentang kemampuan individu dalam situasi yang dianggap menekankan performance goals. Hal ini berdampak dengan partisipan semakin serius melirik kesempatan yang dia peroleh karena belum tentu teman-temannya dapat memperoleh kesempatan yang sama dengannya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas, partisipan merupakan mahasiswa berprestasi dan sukses yang memiliki metakognisi dan self-efficacy yang baik, partisipan mampu dalam memantau, mengevaluasi, dan membuat rencana pembelajaran untuk dirinya, serta memahami potensi dirinya, mampu memanfaatkan peluang, dan mampu mengoptimalkan talenta yang dia miliki berdasarkan self-report dari partisipan.
Partisipan juga merupakan mahasiswa dengan metacognitive monitoring yang baik karena mampu menggunakan strategi yang lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan suatu masalah sehingga motivasi berprestasinya bisa lebih terjaga. Hal ini sangat menonjol pada kemampuan menulis partisipan dimana partisipan semakin ter-challenge sehingga partisipan memiliki mastery orientation dan mampu melakukan decision making berdasarkan kapasitas dan kapabilitas diri, serta menghargai proses sebagai orientasi penting dalam pembelajaran.
Selain itu juga sangat terlihat bagaimana lingkungan eksternal sangat penting baginya mempertimbangkan bahwa cara dimana orang dewasa dan peer mempengaruhi persepsi tujuannya, bagaimana sosial dan mastery goals mungkin berinteraksi untuk mempengaruhi penggunaan strategi pembelajaran yang efektif dan meningkatkan motivasi dalam dirinya.
Referensi:
Blumenfeld, P.C. (1992). Classroom learning and motivation: clarifying and expanding goal theory. Journal of educational psychology, 84(3), 272-281
Dahar, R.W. (1989). Teori – teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Hacker, D. J., Dunlosky, J., Grasser, A.C. (2009). Handbook of Metacognition In Education. New York: Routledge
Lawson, M.J. (1980). Metamemory making decisions about strategies. In: J.R. Kirby & J.B. Biggs (Eds.). Cognition, Development and Instruction. New York: Academic Press.
I appreciate this information, thanks.